Thursday, May 14, 2020

Produktif Menulis Cerita Anak Kelas Piet Genta Day 4 : Mimi Belajar di Rumah



“Mimiiiiii...main, yuk!” Panggil Lani semangat. Mimi yang masih mengantuk, membuka matanya malas.

“Mimiiiiiii!” Panggil Lani lagi. Mimi belum menyahut.
“Mimi masih tidur, Lani. Nanti saja kesini lagi, ya.” Mama yang menjawab. Mimi dengar, sih, tapi Mimi masih mengantuk. Matanya masih terpejam.

“Mimi mau bangun jam berapa? Ini sudah siang, lho.” Suara Mama lembut di telinga Mimi.

Sehabis sahur dan salat subuh, Mimi tidur lagi. Ia tertidur saat Mama mengaji usai salat subuh tadi.

“Mimii....”Mama masih mencoba membangunkan Mimi. Hampir jam sepuluh pagi, Mimi masih bermalas-malasan di tempat tidur.

“Iya, Ma...sebentar lagi,ya...”gumam Mimi dengan mata masih terpejam. Mama tersenyum. Perubahan pola tidur selama bulan Ramadan ini memang membuat Mimi lebih banyak tidur seperti pagi ini. Pola makan, pola tidur, bahkan pola bermainnya berubah.

 “Miii...lihat, nih, Ibu Guru Mimi kirim pesan di grup WA,”pancing Mama. Kali ini terlihat Mimi bergerak. Berusaha membuka mata.

“Yyyaaa,”sahutnya lirih. “Apa, Mama...” Mimi menggeliat. Mama memperlihatkan layar ponsel.
“Tuuh...ada tugas mewarnai dari Ibu Guru. Yuk, bangun, kerjakan tugas! Mimi bobo terus, nih, ah,”Mama melipat selimut Mimi. Masih dengan malas, Mimi bangun.

“Hayo, mandi dulu, ya, nanti kerjakan tugas, yaaa.” Mimi mengangguk sambil masih mengantuk.

Usai mandi, Mimi bersiap di meja lipat kecilnya untuk mewarnai. Ibu Guru di PAUD tempat Mimi belajar, rajin memberi tugas harian secara daring melalui ponsel Mama. Selama wabah virus korona, Mimi dan teman-teman di PAUD Melati harus belajar di rumah saja.

“Mimiiiii....ayo maiiiinnnnn!”Terdengar suara Lani memanggil. Nada panggilan yang mengalun khas itu membuat Mimi spontan menengok ke arah jendela.

“Mimi, mainnya nanti, ya.” Cegah Mama tegas. Mimi mengangguk. Lalu duduk lagi di atas karpet dengan meja lipatnya.

“Mimiiiiiii!”Lani masih berusaha rupanya.

Mama geleng kepala.
“Sudah, tunggu saja Mimi disitu, ya. “ Mama bergegas ke luar rumah. Dihampirinya Lani yang tengah berdiri di luar pagar.

Mimi memperhatikan dari balik jendela. Dilihatnya Mama berbicara dengan Lani. Selama wabah korona, Mimi jarang main keluar rumah. Mama melarangnya bermain di luar. Lani juga sekali-sekali main. Soalnya bosan juga belajar terus di rumah. Tak sabar rasanya ingin kembali ke sekolah. Bertemu Ibu Guru dan teman-teman.

Tak lama kemudian Mama masuk bersama Lani.


BACA JUGA YANG INI, YUK: "Mimi dan Bunga Begonia"

Produktif Menulis Cerita Anak Kelas Piet Genta Day 5 : Mimi dan Bunga Begonia

                          


Setiap sore menjelang berbuka puasa, Mimi menemani Mama merawat tanaman di pekarangan depan rumah. Kali ini, ada yang istimewa. Bukan sekadar menyirami bunga saja seperti biasa. Mama baru membeli beberapa macam bunga lagi untuk ditanam.


“Ma, bunganya tambah banyak, ya?” Tanya Mimi. Mama mengiyakan.


Tangan Mama sibuk mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di pot bunga.


“Mimi boleh bantu, enggak, Ma?” Mimi ikut berjongkok dekat Mama."Sini, bantu cabuti rumput-rumput kecil yang ada di pot, ya. Pakai sarung tangan dulu." 

Mama mengambil sarung tangan plastik dan mencontohkan cara mencabut rumput.Mimi mengangguk senang. Ia paling suka membantu Mama. Ia selalu berusaha membantu Mama, sekecil apapun bantuannya.


“Ma, ini cabut jangan, ya?” Hampir saja Mimi mencabut anak bunga bakung yang baru tumbuh di sebelah bunga bakung yang besar.


Mama menggeleng. Matanya agak melotot. Hampir saja copot jantung Mama. Khawatir Mimi mencabut bunga, bukannya rumput.


Tapi anak perempuan Mama yang baru berusia lima tahun itu malah bersenandung riang saat Mama melihat ke arahnya. Sambil mencabuti rumput liar seperti yang dicontohkan Mama. Mama tertawa kecil. Berusaha ikhlas kalau ada yang salah tercabut.


Tiba-tiba...


BACA JUGA CERITA INI, YUK: "Mimi Sayang Kakek"

Tuesday, May 12, 2020

Produktif Menulis Cerita Anak Kelas Piet Genta Day 3 : Celengan Mimi




Oleh Winda Sumarna




Pagi ini Mimi tampak resah. Teh Ina belum kelihatan juga. Biasanya jam delapan pagi Teh Ina sudah datang dengan bakul besarnya. Bakul berisi bubur sumsum hangat kesukaan Mimi.

“Kenapa, Mi? Kok, gelisah begitu?” tanya Mama yang sedang menyiram bunga di halaman.
“Teh Ina belum kesini, ya, Ma?” Mimi balik bertanya.

“Belum. Iya, ya, biasanya jam segini sudah sampai. Mungkin mampir di tempat lain,”sahut Mama.

Mimi menghempaskan badannya di kursi santai di teras. Berlagak sedang melihat Mama menyiram bunga. Tapi pikirannya melayang entah kemana.

“Hayooo...mikirin apa, sih? Kok melamun begitu?” Mama mengagetkan Mimi rupanya. Mimi melamun.
“Emh...Mimi pingin bubur sumsum Teh Ina, Ma.” Kata Mimi, dengan mulut agak cemberut.
“Ya, sudah, kalau Teh Ina masih belum datang, Mama yang buatkan, ya.” Mama menyimpan alat penyiram bunga di dekat bunga.
“Enggak, Ma, enggak apa-apa. Enggak usah. Nanti tunggu teh Ina saja, deh,” kata Mimi lagi. Mama tersenyum menanggapi. Lalu lanjut lagi menyiram bunganya.

Keesokan harinya, bubur sumsum Teh Ina masih juga belum bisa dirasakan Mimi lagi. Teh Ina lagi-lagi tidak mampir. Begitupun dua hari sesudahnya. Padahal Teh Ina selalu rajin setiap hari mampir dengan bakul bambunya itu setiap pagi.

“Ma, rumah Teh Ina dimana, sih?”tanya Mimi pada Mama. Mama mengingat-ingat.

“Enggak jauh, kok, di kampung belakang komplek. Kenapa, Mi?”

“Kita main ke rumahnya Teh Ina, yuk, Ma. Mimi pingin ketemu sama Teh Ina,” jawab Mimi setengah memaksa.

“Boleh, tapi nanti kalau Mimi sudah mandi, ya!”
“Siap, Ma!” Wjah Mimi berseri lagi.

Agak siang, Mama bersama Mimi pergi ke kampung belakang komplek. Tidak terlalu jauh, kok. Juga tidak terlalu sulit. Hampir semua orang kenal Teh Ina, pedagang bubur sumsum keliling. Hingga kemudian mereka tiba di rumah Teh Ina.

Rumah itu tidak terlalu besar. Dihuni oleh Teh Ina dan ibunya. Ibu Teh Ina membukakan pintu dan mengobrol dengan Mama.

“Ina sakit, Bu. Makanya berhenti jualan dulu. Mungkin terlalu cape,”jawab Ibu Teh Ina ketika Mama bertanya tentang alasan Teh Ina tidak berjualan.

Mimi menegakkan duduknya. Teh Ina cape? Aduh, kasihan. Mungkin bakulnya terlalu berat digendong kemana-mana?

“Mimi mau nengok Teh Ina, boleh enggak? “ pinta Mimi pada Ibu Teh Ina. Ibu tersenyum dan mengangguk,lalu mengajak Mimi dan Mama ke kamar Teh Ina.

Disana, Teh Ina terbaring dengan mata terpejam. Sedang istirahat rupanya, habis minum obat. Mimi dan Mama tidak lama-lama. Takut mengganggu Teh Ina. Mereka pamit setelah sedikit mengobrol dengan Ibu Teh Ina.

Di rumah, Mimi masih nampak sedih mengingat Teh Ina. Ia tahu, sakit itu tidak menyenangkan. Tidak bisa bermain, tidak boleh keluar rumah, harus istirahat. Sama seperti Teh Ina.

“Ma,” Mimi menghampiri pada Mama, memeluk celengan berbentuk Doraemon berwarna biru.

“Ya, Sayang,” Mama menyimpan buku yang sedang dibacanya.

“Mimi kasih ini buat Teh Ina, ya, Ma.” Mimi memberikan celengannya pada Mama. Agak berat.
“Maksud Mimi, celengannya diberikan untuk Teh Ina?” tanya Mama meyakinkan. Mimi mengangguk.
“Bantu Teh Ina beli obat dan susu, ya, Ma. Supaya Teh Ina cepat sembuh. Mimi kasihan lihat Teh Ina. “

Mimi mengusap air matanya yang tiba-tiba meleleh. Mama juga, mengusap ujung matanya yang tiba-tiba basah.

Spontan Mama memeluk anak perempuannya yang baru berusia lima tahun itu.

“Duh, sayangkuuuu, baik sekali hati Mimi. Ya, nanti Mama belikan untuk Teh Ina obat dan susu, ya. Mimi ikhlas?”

“Ikhlas itu apa, Ma?”

“Ikhlas itu tidak mengharapkan imbalan, sayang. Kalau Mimi ikhlas, Allah pasti akan balas kebaikan Mimi. Doakan Teh Ina cepat sembuh, yaa,” Mama mengecup sayang pipi Mimi yang bulat.

“Iya, Ma.” Mimi memeluk Mama erat.

Mama tersenyum hangat. Senangnya melihat Mimi memiliki rasa peduli yang tinggi seperti ini. Disimpannya celengan Doraemon itu tanpa mengeluarkan isinya. Tanpa Mimi tahu, Mama sudah menyelipkan amplop berisi uang untuk Teh Ina ketika mereka menengok Teh Ina.
***

Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari project #ProduktifMenuliCeritaAnak bersama Piet Genta #rumpunaksara

Monday, May 11, 2020

Produktif Menulis Cerita Anak Kelas Piet Genta Day 2 : Mimi Sayang Kakek

"MIMI SAYANG KAKEK"

Add caption

Oleh Winda Sumarna





“Mimi, kalau menutup pintu pelan-pelan dong,Nak,” kata Kakek pada Mimi yang baru masuk ke rumah. Mimi tidak menjawab. Lekas ia berlari menuju Mama yang sedang menjahit.


“Mama, Kakek galak,” bisik Mimi pada Mama. Mama tersenyum. Lalu balas berbisik.


“Bukan, Kakek bukan galak, Mi. Kakek kaget, Mimi buka pintu, terus tutup pintu berisik,” Mama mencium pipi Mimi yang cemberut.


Ya. Hari-hari Mimi terasa menyebalkan kalau sedang ada Kakek berkunjung ke rumahnya. Mimi tidak boleh ini lah. Mimi tidak boleh itu lah.


"Mi. Kok lama banget di kamar mandi. Jangan main air. Sudah, Nak. Sini makan." Lagi-lagi Kakek mengganggu Mimi.


Mimi pun bergegas keluar dengan wajah cemberut. Setelah merapikan diri, dia bergabung bersama kakeknya di meja makan.


“Ayo, Mi, makanannya jangan disisakan, ya, habiskan sampai piring Mimi bersih,” kata Kakek. Kumis Kakek yang tebal bergerak naik turun mengikuti gerakan mulut yang juga mengunyah. Mimi tertawa kecil.


“Eh, sedang makan tidak boleh ketawa-ketawa! Nanti kamu tersedak!” Kali ini suara Kakek bertambah keras. Mimi langsung diam. Mama tersenyum kecil. Dilihatnya arah pandangan Mimi ke arah mulut Kakek.


“Kek, Mimi geli lihat kumis Kakek, tuh,” seloroh Mama. Kakek melotot. Mimi ikut melotot.



BACA JUGA YANG INI, YUK : "Mimi Belanja Ke Warung"

Sunday, May 10, 2020

Produktif Menulis Cerita Anak Kelas Piet Genta Day 1 : Mimi Belanja Ke Warung


Mimi Belanja Ke Warung



Oleh Winda Sumarna






Hari ini Mama memasak sayur sop ayam. Sayur kesukaan Mimi. Potongan ayamnya besar-besar. Warna wortelnya oranye cerah. Mimi senang melihat Mama memasak sayuran.

"Mimi boleh bantu Mama enggak?" tanya Mimi. Mama sedang mengupas kulit wortel.
"Bantu apa, ya, Mi, Mama sudah siap semua bahannya."
"Boleh enggak, Mimi bantu kupas-kupas?" tanya Mimi lagi.

Mama tersenyum. Ditatapnya anak perempuan mungil yang baru berusia lima tahun itu penuh sayang.
"Tidak usah, sayang, Mimi lihat Mama masak aja, ya."

Mimi mengangguk. Mama sudah mulai memasukkan sayuran ke dalam panci berisi rebusan daging ayam.

Potongan wortel, brokoli hijau dan kol putih. Mimi tahu nama sayuran itu karena Mama memberitahunya.

Lalu Mama memasukkan bumbu-bumbu. Garam, sedikit gula, bumbu penyedap, dan bawang putih yang sudah dihancurkan.

"Aih, Mi...Mama lupa, Mi..." Mama mencari-cari sesuatu di tempat bumbu.

"Lupa apa, Ma?" Mimi mendekati Mama, siapa tahu bisa membantu Mama menemukan benda yang dicari.

"Merica! Mimi tahu merica?" Mimi mengangguk semangat.

"Merica yang warna coklat, bulat-bulat kecil, keras, pedas, ya, Ma?" jawab Mimi.

"Ya, sayang! Merica! Mimi mau bantu Mama?"

"Ya, Ma!" Mimi mengangguk kuat-kuat. Dari tadi ingin membantu Mama. Akhirnya ada juga yang bisa Mimi bantu.

"Tolong belikan merica di warung Bu Danu, ya! Bisa?"

"Bisa, Ma. Berapa?"

"Belikan dua bungkus, ya. Ini uangnya, minta kembaliannya. Hati-hati, jangan sampai uangnya jatuh."

"Iya, Ma."

"Mimi enggak usah buru-buru, ya. Sayurnya bisa menunggu merica, kok, Mi." Gurau Mama.

Mimi tertawa kecil. Ia mengambil uang lembaran lima ribu dari tangan Mama. Kemudian berangkat ke warung Bu Danu yang jaraknya lima rumah jauhnya dari tempat tinggal mereka.

Mama mengintip dari balik pintu dapur. Melihat anak perempuannya berlalu dengan senangnya.

Tak lama kemudian, Mimi tiba di warung Bu Danu. Tampaknya sepi. Tidak ada pembeli selain Mimi.

"Beliii..." seru Mimi. Ia pernah diajak Mama ke warung Bu Danu. Begitu cara Mama memanggil Bu Danu. Mama tidak membolehkan Mimi sering-sering ke warung. Kata Mama, tidak boleh banyak jajan.

"Yaaa!" sahut Bu Danu. Sebagian badannya terhalang oleh tumpukan toples dan etalase toko.

"Mau beli apa, sayang?" tanya Bu Danu ramah.

"Beli merica dua bungkus!" sahut Mimi agak keras. Ia takut Bu Danu tidak mendengar suaranya. Nanti Mama marah kalau Mimi salah beli.

"Boleh." Bu Danu menyodorkan dua bungkus merica butir pada Mimi. Ah, ternyata tidak lama.

"Ini uangnya, Bu." Mimi memberikan uang lima ribu yang tadi diberikan Mama pada Bu Danu.

Bu Danu mengambil uang itu, lalu memberikan uang kembalian untuk Mimi.

"Kembalinya tiga ribu, ya, Mi." Mimi mengangguk. Diambilnya uang kembalian itu.
"Mimi enggak jajan?" tanya Bu Danu. Mimi diam.

Tadi Mama tidak menyuruh Mimi jajan. Hanya membeli merica saja.

Mimi menggelengkan kepala. Dilihatnya ada baaaanyaaaakkk sekali makanan yang disukainya di warung Bu Danu ini.

Coklat, kue, keripik, permen. Mama marah tidak, ya, kalau Mimi belikan satu saja?

"Sudah? Enggak jajan, ya?" tanya Bu Danu lagi.



BACA YANG INI JUGA, YUK :"Celengan Mimi" 

Mengisi Waktu #DiRumahAja dengan Kegiatan Positif: Menulis Aja, Yuk!

Penulis-penulis itu memang parah, ya. Seenaknya aja bilang, "MENULIS ITU GAMPANG!"

Beuh, iya, kalo nulisnya cuma nulis biasa yang tanpa arti. Nah, giliran menulis yang bermakna, sampai jadi satu cerita yang bagus, itu kan butuh KERJA KERAS. Gak semudah itu, Ferguso! 

Lagi-lagi saya coba menulis ingin selancar mereka---para penulis hebat (hiks, sedih). Lagi-lagi BUNTU. Kayak masuk gang kecil, panjang, jauh, eeeehhh, enggak nemu ujung jalan. Malah tembok rumah melulu. Hadeuh. 

Aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di sebagian besar wilayah Indonesia sekarang ini membuat kita semua harus putar otak lebih rajin. Untuk isi perut, untuk isi otak, untuk isi dompet, untuk isi waktu...

Well, saya enggak mau cuma jadi WPC saja, Sis! WPC--- Warga Pecinta Rebahan. Tambah endut lah, haha! Udah mah endut, rebahan terus, kapan langsyingnya, Cintaaahh!

Hingga kebosanan ini bertemu dengan promo di Fesbuk :


PUCUK DICINTA ULAM PUN TIBA!


I Love You, Mbak Piet Genta!!

Senang sekali ketika kemudian saya bisa berkomunikasi langsung dengan beliau, penulis hebat yang baik hati ini. Dari kotak pesan di Fesbuk, lanjut ke Whatsapp, lalu ke Whatsapp Group, saya bertemu dengan banyak teman.

Menambah teman, menambah silaturahim. Alhamdulillaah. Lalu segala sesuatunya mengalir begitu saja.

SAYA MENULIS CERITA ANAK! HAHA! 

Senang? Iya lah! Menulis cerita anak itu BEDA dengan kita menulis untuk dewasa. Tantangannya berat. Menurut saya, lho, ya. 

Lalu, dimulailah proses menulis itu. Dan...Aha! Alhamdulillaah! Akhirnya bisa juga menulis cerita anak!

Dengan bantuan panduan PJ Mbak AriWidi dan tentu saja arahan dari Mbak Piet Genta, kemudian menulislah saya...


BACA YUK, DISINI : Mimi Belanja Ke Warung


Teman-teman yang lainnya juga sama-sama berproses. Ada yang memang sudah punya jari lincah, baru juga berapa menit peluit tugas ditiup oleh Mbak PJ, langsung posting di grup. Bikin saya jadi keder, hehe...Keder karena belum bikin tugas! Wadaw!

Mungkin memang saya orangnya harus dipanasin dulu supaya bisa maju. Lihat yang lain cepat posting tugas, yaaa, kemudian saya pun berusaha untuk tidak kalah dengan yang lain. Hasilnya? Bisa! Yeeeyyy!!!

Jatuh bangun dulu, sih, teteeep. Setor naskah mepet deadline, lalu dikoreksi. Hmm. Besoknya begitu lagi, hehe. Selalu ada perbaikan. Ya, enggak apa-apa juga. Koreksi untuk membangun, toohh. Lagipula, Mbak Piet ini telaten, lho! Bibi Titi Teliti! 

Alhamdulillaah, kalo beliau enggak teliti, siapa yang mau koreksi coba?? 
Hasilnya kan kelihatan, MEMUASKAN (at least buat diri sendiri aja dulu, xixi)! 
bolak-balik koreksi, baru deh, lulus posting dan bisa publish untuk umum. Yeeeaayyy!

Mudah-mudahan bisa konsisten. Itu aja dulu, ya. Soalnyaaaaa...hmmmm...saya agak angin-anginan juga, hihihi. Menulis itu tetap perlu ide, inspirasi, konsep dan lain-lain hingga kemudian menjadi satu cerita yang utuh dan diapresiasi. Syukur-syukur jika kemudian bisa mendatangkan rejeki :) Aamiin. 




Yah, itu dia, Kawans, yang ingin saya bagi kali ini. Intinya, mengisi waktu luang bisa dengan berbagai cara. Termasuk dengan meng-update kemampuan supaya selama #lockdown #dirumahaja ini kita tidak stuck, enggak begitu-begitu aja. Sudah seharusnya kita menambah kemampuan diri.

Dari yang enggak bisa masak Capcay, jadi bisaaaa (itu saya, hehe. Prestasi banget, ya, bisa masak Capcay)

Dari yang enggak bisa menulis cerita anak, jadi bisaaa, horee!!!

Semangat itu, perlu, Kawans. Jadi, yuk, kembangkan dirimu!
Kelamaan rebahan malah nambah malas, lho (Itu sayaaa....Kalian enggak, kan???)

Yuk, Yak, Yukkk!!